TRADISI KEILMUAN ISLAM KLASIK: BAYANI
TRADISI KEILMUAN ISLAM KLASIK: BAYANI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Ilmu keislaman Berparadigma Unity Of Science
Dosen Pengampu: Dr.H. Sholihan, M.Ag
Disusun oleh :
Haning Rofi’ah : 2000018018
PROGAM PASCASARJANA ILMU AGAMA ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020
KATA
PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang selalu memberikan karunia tiada terhingga kepada kami, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tradisi Keilmuan Islam Klasik:
Bayani” yang masih jauh dari sempurna ini.
Penulisan makalah
ini bermaksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Keislaman. Adapun
kesulitan yang dialami penulis yaitu dalam mencari data-data yang berkaitan
dengan materi makalah, yang kemudian dapat penulis atasi dengan cara mencari
referensi di perpustakaan.
Penulis juga menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis nantikan guna memperbaiki masa mendatang dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi yang membacanya.
Semarang, 18 Oktober 2020
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tradisi keilmuan Islam secara global dapat dipetakan dalam tiga
kategori: Bayani, Irfani, dan Burhani. Ketiga istilah ini, walaupun secara
literal sudah ada dalam berbagai teks keislaman, seperti dalam al-Qur'an,
bahasa Arab, filsafat, dan kalam, akan tetapi ketiga istilah tersebut muncul
sebagai suatu bentuk penalaran atau epistemologi keilmuan Islam baru belakangan
ini ketika Muhammad Abed al-Jabiri melakukan dekonstruksi atas tradisi keilmuan
Islam dalam proyek "Kritik Nanar Arab"-nya.[1]
Al-Jabiri, yang telah banyak mempelajari tradisi filsafat Barat
secara mendalam, khususnya pemikiran-pemikiran filsafat yang berkembang di
Perancis, seperti strukturalisme dan post strukturalisme serta
pemikiran-pemikiran filsafat lainnya mencoba "membongkar" bangunan
keilmuan Islam (klasik) dengan pisau analisis atau pendekatan yang bisa
dikatakanjarang digunakan oleh ilmuan-ilmuan muslim lainnya, yaitu dengan menggunakan
analisis: strukturalisme, sejarah, dan kritik ideologi.
Kerangka dasar wawasan pengetahuan dalam pendidikan islam telah
digariskan oleh Al-quran khususnya pada QS. Surah al-‘Alaq (96):1-5. Disini
pengetahuan manusia disebut dengan “Pembacaan” (al-qira’ah) yang
meliputi dua wilayah pokok, yakni: (1) pembacaan “kitab penciptaan” dan (2)
pembacaan “kitab tertulis”.[2]
Bayani adalah sebuah metode berfikir yang berdasarkan pada teks kitab suci
(Al-quran). pendekatan bayani melahirkan sejumlah produk hukum islam (fiqih
islam) dan bagaimana cara menghasilkan hukum dimaksud (ushul fiqih) dengan
berbagai variasinya selain itu juga melahirkan sejumlah karya tafsir Al-qur’an.
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang
komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari
tiga kecenderungan epistemologis yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam
perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat
tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua
kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani)
secara optimal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
tradisi keilmuan Islam klasik: bayani ?
2.
Apa
saja dasar keilmuan Islam dengan pendekatan bayani ?
3.
Apa
saja persoalan dalam pendekatan bayani ?
C.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini memiliki beberapa tujuan diantaranya sebagai
berikut:
1.
Untuk
mengetahui tradisi keilmuan Islam klasik dengan pendekatan bayani
2.
Untuk
mengetahui dasar keilmuan Islam dengan pendekatan bayani
3.
Untuk
mengetahui persoalan yang ada dalam keilmuan Islam klasik dengan pendekatan bayani
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tradisi
Keilmuan Islam Klasik
Berawal dari
terbentuknya komunitas Islam, tantangan pertama yang dihadapi oleh umat Islam
adalah tantangan moral dari kemerosotan yang dibawa oleh budaya jahiliyah.
Kedua, tantangan kesusasteraan yang dipunyai oleh budaya jahiliyah yang
terpenting adalah di saat terjadi ekspansi Islam terhadap peradaban lainnya.
Tantangan ketiga yaitu adanya aktivitas keilmuan dan filosofis yang dibawa
terutama yang dibawa oleh budaya helenistik. Seorang pakar Filsafat Islam
bernama Alparlan Acikgenc menyimpulkan bahwa intelektualitas pada awal abad
kemunculan Islam telah mempunyai dasar fondasi yang mumpuni disebut dengan contextual
causes guna kebangkitan aktivitas keilmuan dan kemunculan tradisi keilmuan
dalam Islam.[3]
Pada masa
kenabian, ketika umat Islam dihadapkan dengan permasalahan yang muncul saat
itu, Nabi Muhammad saw akan menguraikan dan menjelaskan dengan bimbingan wahyu
illahi. Hal tersebut merupakan proses yang berkesinambungan dalam konstruksi Islamic
worldview. Pada masa milleu intelektual Islam didominasi oleh Islamic
worldview yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw dengan bimbingan wahyu
berdasarkan Al-Qur’an dan hadits, hal ini termasuk kedalam metode pendekatan
bayani.[4]
Menurut M. Abid
Al-Jabiri, sejarah keilmuan Islam (konstelasi budaya Islam) lebih sebagai
sejarah pemikiran fikih, dan kebanyakan pemikir yang dihasilkan oleh peradaban
Arab Islam dapat dikategorikan bayaniyyun, yakni orang-orang yang berpikirnya
berparadigma epitemologi yang dipoliferasi dari ilmu-ilmu Arab Islam istidlali
murni. Ilmu-ilmu tersebut adalah: Fikih, Balaghah, Kalam, dan Nahwu: determinan
dalam kajian pendidikan keagamaan. Kajian terhadap pendidikan Islam klasik yang
ada dalam literatur standar selama ini kelihatannya lebih banyak bersifat
kesejarahan, sedikit yang menyentuh pemikiran dan kalaupun ada, itu tidak
sampai pada pemetaan fundamental strukturnya. Selain itu, umumnya
kesimpulan general yang dikemukakan dalam literatur tersebut adalah bahwa
pendidikan Islam masa klasik itu penuh keistimewaan bersifat komprehensif dan
baik-baik saja tidak ditemukan analisis-diagnogsi yang mampu menyingkap jubah
kebesaran yang membungkus pendidikan Islam pada masa kejayaan dulu sehingga
dapat diketahui kekurangan dan kelebihan secara objektif.[5]
Sejarah budaya
Arab Islam terkait keilmuan yaitu sebagai sebuah turat (tradisi) yang mempunyai karakteristik
dasar yang berbeda. Sebuah upaya periodesasi kultural (al-zaman al-tsaqafi)
atas sejarah budaya Arab Islam mengalami kesulitan atau bila terdapat
periodesasi yang telah dibuat untuknya yang masih bersifat superfisial(tidak b
erbobot). Kesadaran akan budaya dan tradisi pemikiran dunia Arab Islam yang
pada gilirannya mampu membawa ke arah krisis perkembangan (al-tathawwur)
dan kemajuan (al-taqaddum).[6]
Islam sangat
menekankan pentingnya pencarian ilmu, untuk meneliti, memahami alam semesta,
dan keadaan alamiah yang berkaitan dengan hal tersebut. Mencari ilmu bukan
hanya semata-mata dianjurkan, melainkan wajib atas setiap muslim sesuai hadits
yang diriwayatkan Ibnu Majah, “mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”.
Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hasil dari aktivitas pencarian ilmu yang
menyeluruh ini akhirnya membentuk hubungan dari konsep-konsep yang ada pada
akhirnya membuahkan hasil skema konseptual keilmuan (the scientific
conceptual scheme). Skema tersebut muncul pada masyarakat atau peradaban,
maka hal tersebut dinamakan tradisi keilmuan (scientific tradition),
atau dapat disimpulkan Islamic scientific conceptual scheme adalah
merupakan dasar fondasi dari munculnya tradisi keilmuan Islam.[7]
Menurut
Alparslan apabila sejarah intelektual Islam dipelajari secara teliti mulai dari
awal, maka akan tampak benih beberapa ilmu itu sudah ada sejak masa Rasulullah
saw terutama.
Seorang tokoh bernama Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan tahapan-tahapan
kelahiran ilmu secara periodik berdasarka skema Acikgenc di atas. Hamid
berpendapat, bahwa kelahiran ilmu dalam Islam dibagi ke dalam empat periode.
Pertama, diawali turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam. Turunnya
wahyu pada periode Mekkah adalah pembentukan struktur konsep tentang dunia dan
akhirat sekaligus.
Periode kedua adalah lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun
mengandung struktur ilmu pengetahuan. Hamid mempertegas bahwa dapat diklaim
bahwa embrio ilmu (sains) dan pengetahuan ilmiah dalam Islam ialah struktur
keilmuan dalam worldview Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an. Periode ketiga
ialah munculnya tradisi keilmuan dalam Islam yang dibuktikan dengan adanya
komunitas ilmuwan. Masyarakat ilmuwan membuktikan adanya permulaan tradisi
keilmuan dalam Islam ialah berdirinya kelompok belajar atau sekolah yang
bernama Ashabus-Shuffah di Madinah. Dalam kegiatan belajar mengajar ini mengkaji
kandungan wahyu dan hadits Nabi saw. Periode keempat ialah lahirnya disiplin
ilmu-ilmu Islam, framework Islam yang mampu melahirkan embrio ilmu
(sains), dalam kenyataan praktiknya umat Islam memang tidak hanya mengkaji dan
mengembangkan dalam bidang al-ulumus-syar’iyyah saja, namun juga dalam
bidang ilmu pengetahuan secara umum. Hal tersebut dapat dipahami karena
Al-Qur’an memberikan perhatian yang penuh terhadap hal-hal yang berkenaan
dengan fenomena alam, sejarah, sosial dan hidup bermasyarakat, politik dan
masalah kenegaraan.[8]
B.
Melalui Pendekatan Bayani
Kata Bayani yang terdiri
dari huruf ba - ya - nun, secara
lughawi mengandung pengertian; l) al-washl (kesinambungan), 2)
al-fashl (keterpilahan), al-bu'du dan al-firaq( jelas dan terang), 3)
al-zuhur dan al-wuduh, 4) al-fashahah dan al-qudrah
dalam menyampaikan pesan atau maksud, manusia yang mem-punyai kemampuan
berbicara fashih dan mengesankan.
Bayani secara estimologi
mempunyai arti jelas, penjelasan, menjelaskan, dan menyampaikan maksud dan
tujuan. Penjelasan terhadap segala permasalahan yang ada di ada dunia nyata ini, itu terangkum dalam
istilah epistemologi bayani, jadi untuk menjelaskan segala permasalahan yang
ada di dunia ini, kita harus mengacu pada sebuah sumber yaitu teks. Sedangkan teks itu sendiri ada dua macam yaitu teks
yang berasal dari nash dan non nash. Nash itu maksudnya bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah dan yang non nash itu berupa karya ulama’ yang
terangkum dalam ijma’ dan qiyas.
Dalam kajian tafsir, kata Bayan
ini dipahami oleh para mufasir dalam arti yang berbeda-beda, yaitu dalam
mengartikan kata Bayan yang ada dalam surat al-Rahman: ayat 4. Al-Alusi,
misalnya dalam tafsir Ruh al-Ma'ani, menafsirkan Bayan adalah
berbicara fashih dalam mengungkapkan isi hatinya. Selain itu, al-Bayan juga
berarti kebaikan dan kejelekan, atau jalan petunjuk dan jalan kesesatan, atau
ilmu dunia dan ilmu akhirat, atau nama-nama segala sesuatu, atau juga berbicara
dengan bahasa yang bermacam-macam.[9]
Begitu
pula menurut Ar-Razi tidak jauh berbeda dengan pendapat ini, yaitu bahwa Bayan
adalah pandai berbicara sehingga orang lain dapat memahaminya. Namun
demikian, Bayan juga berarti al-Qur'an itu sendiri, karena al-Qur'an
juga disebut al-Bayan.[10]
Dalam bahasa
filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model
metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang
memiliki otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai
pengawal makna yang terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan
hubungan antara makna dan lafaz. Dan dikatakan pula bahwa peran
akal dalam epistemologi bayani adalah sebagai pengekang/pengatur hawa nafsu,
justifikatif dan pengukuh kebenaran (otoritas teks).[11]
Epistemologi
bayani pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqaha' (pakar fiqih), mutakallimun
(theolog) dan usulliyun (pakar usul al-fiqhi). Di mana mereka
menggunakan bayani untuk:
1.
Memahami
atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung
atau dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan
untuk mengeluarkan makna dzahir dari lafaz yang dzahir pula.
2.
Istinbat
(pengkajian) hukum-hukum dari al-nushush al-diniyah (al-Qur'an
dan Hadis).
Karena bayani berkaitan dengan teks, maka persoalan pokoknya adalah
sekitar lafadz-makna dan ushul-furu'. Misalnya, apakah suatu teks dimaknai
sesuai konteksnya atau makna aslinya (tauqif), bagaimana menganalogikan
kata-kata atau istilah yang tidak disinggung dalam teks suci, bagaimana memakai
istilah-istilah khusus dalam asma’ al-syar’iyyah, seperti kata shalat,
shiyam, zakat.[12]
Nuansa iklim
intelektual-kultural semacam itu melahirkan komunitas agamawan-intelektual yang
menempati posisi otoritatif dalam ranah keagamaan dan keilmuan. Mereka adalah
kalangan ulama bayani, meminjam istilah al-Jabiri, yang secara kolegial
berperan dalam menetapkan ilmu-ilmu Arab Islam yaitu nahwu, balaghah, fikih dan
kalam. Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas
teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal
kebahasaan yang digali melalui inferensi (istidlal). Secara langsung
artinya mamahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan
tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini
bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi
harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio diangggap tidak mampu memberikan
pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.Dalam perspektif keagamaan, sasaran
bidik bayani adalah aspek esoterik (syari’at).[13]
Karakter aktifitas nalar yang mendasari proses produksi pengetahuan
dalam epistemologi bayani paling tidak – didasarkan pada satu nalar (mekanisme
kognitif) yang pilar-pilarnya adalah menghubungkan furu’ dengan ushul karena
adanya persesuaian antara keduanya: yang dalam istilah nuhat dan fuqaha’
disebut qiyas, atau dalam istilah teolog istidlal bi al-syahid
ala al-ghaib (penalaran analogis antara dunia inderawi dengan dunia
transenden), dan tasybih dalam istilah para ahli balaghah.[14] Menurut Imam as-Syafi’i, tiga asas
epistemologi bayani adalah al-Qur’an, as-Sunnah dan al-Qiyas. Kemudian, beliau
juga menyandarkan pada satu asas lagi, yaitu al-Ijma‟.[15]
Dari segi metodologi, Imam Syafi’i membagi bayani menjadi lima bagian
1.
Bayan
yang tidak butuh penjelasan lanjut sebab sudah dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an
secara jelas sebagai ketentuan bagi makhluk hidup
2.
Bayan
yang bebrapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah
3.
Bayan
yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah
4.
Bayan
sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an
5.
Bayan
ijtihad yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan sunnah.
Berdasarkan suatu penelitian, ulama’
sepakat telah menetapkan bahwa dalil-dalil sebagai dasar acuan hukum syari’ah
tentang perbuatan manusia dikembalikan kepada empat sumber, yaitu al-Qur’an,
as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Kemudian, yang dijadikan dalil pokok dan
sumber dari hukum syari’ah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, dimana as-Sunnah
berfungsi sebagai interpretasi bagi keglobalan al-Qur’an, dan sebagai penjelas
serta pelengkap al-Qur’an.[16]
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Pada dasarnya, keilmuan
Islam telah memiliki tradisi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan yang ada (bayani,
irfani dan burhani), dalam perkembangannya lebih didominasi oleh
corak berpikir bayani yang sangat tekstual.
Bayani sebenarnya
ada penggunaan rasio (akal), tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada
teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah
menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya
merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu
menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung
di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling
mengisi dan melengkapi dengan teks.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKIS, 2000.,
http://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/syariah/article/viewFile/217/173
(02 oktober 2017)
Dr.
Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Al-Alusi,
Ruh al-Ma'ani, Juz 29, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-Razi,
Mafatih al-Ghaib, juz 29, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Muhammad
Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan
Pluralisme Wacana Interreligius, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSoD,
2003.
Abd
Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, terj.
Madar Helmi, Bandung, Gema Risalah Pres, 1996.
Muhammad
Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafi al-„Arabi, 1991. hlm.
38.
[1] Al-Jabiri, Post
Tradisionalisme Islam, Yogyakarta, 2000, hlm.19-20.
[2]
Dr. Mahmud Arif, Pendidikan Islam
Transformatif, Yogyakarta, 2008, hlm. 236
[3] Dr. Adian
Husaini, et.al., Filsafat Ilmu, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm.19.
[4] Ibid, hlm. 20.
[5] Dr. Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta,
2008, hlm. 131
[6] Ibid, hlm. 137-138
[7] Ibid, hlm. 22.
[8] Ibid, hlm. 24-25.
[9]
Al-Alusi, Ruh al-Ma'ani, Juz 29, Beirut:
Dar al-Fikr, 1994, hlm. 151-152.
[10] Al-Razi, Mafatih
al-Ghaib, juz 29, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, hlm. 86-87.
[11] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi
Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana
Interreligius, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, hlm.123.
[12] Abd Wahab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, terj. Madar Helmi,
Bandung, Gema Risalah Pres, 1996, hlm. 22.
[13]
Muhammad
Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi
al-„Arabi, 1991. hlm. 38.
[14] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi
Nalar Arab, op.cit, hlm.217.
[15] Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah
al-Aql al-Arabi, op.cit,, hlm.
23
[16] ‘Abd al-Wahab Khalaf, op.cit, hlm.
22
Comments
Post a Comment